“The Beauty of Christian Marriage” Pdt. Sutjipto Subeno Jakarta, 6 Mei 2008
|
|
1.
|
Umur berapa seharusnya melangsungkan pernikahan? Tidak ada batasan umur yang pasti, tetapi kriteria yang tepat adalah jika anda sudah cukup dewasa dan bisa mandiri untuk membentuk sebuah keluarga. Kedewasaan ditandai dengan seseorang bisa melepaskan egoisme diri sendiri, dan bisa mulai memikirkan kepentingan orang lain, khususnya pasangannya. Kalau seseorang berpacaran hanya untuk memuaskan kepentingan dan keinginannya sendiri, ia tidak layak menikah. Ia aka memanipulasi pasangannya demi kepentingannya. Selain itu, setiap pribadi harus mampu mengatasi masalah secara mandiri. Pasangan itu mampu mengatasi masalah bersama dan bukan membuat masalah. Untuk itu, pasangan ini sudah harus memiliki kemampuan mandiri, tidak hidup bergantung pada orang tua atau orang lain.
|
2. |
Bagaimana jika pasangan suami dan istri yg belum mampu kontrak rumah dan harus tinggal di rumah orang tua dan sebaliknya? Berarti untuk menopang hidup yang paling mendasar saja belum mampu. Nanti kalau sudah tinggal di rumah orang tua, akan ikut makan di dalam, dan nanti akan timbul ekses-ekses yang sangat komplikatif dan sulit dibereskan di masa depan. Lebih baik kita harus berpikir jangka panjang demi kebaikan keluarga kita. Hal itu tetap akan menjadi masalah baik tinggal di keluarga laki maupun keluarga perempuan. Yang lebih lumayan adalah di keluarga perempuan, tetapi akan menimbulkan masalah kredibilitas dan penghinaan bagi posisi suami. Biasanya suami tidak mau. Tetapi lebih buruk jika tinggal di rumah keluarga laki, karena menantu perempuan akan sangat tersiksa, sementara suami biasanya tidak mau mengerti dan tidak mau berperang melawan keluarganya demi membela isterinya. Maka yang terbaik adalah tinggal sendiri, walaupun masih harus mengontrak rumah. Kalau kita punya rumah, lalu karena kondisi yang mendesak, orang tua boleh tinggal di rumah kita dan kita mengurus mereka. Dalam hal ini kitalah yang menjadi tuan rumah, sementara orang tua yang menjadi tamu, sehingga disini suami-isteri tetap mempunyai posisi yang lebih berdaulat. Maka dalam hal ini, monolitik dan komplementasi suami-isteri harus lebih ditajamkan, sehingga tidak membiarkan interupsi dari pihak orang tua yang masuk ikut di dalam rumah itu. Dalam hal ini anak tetap harus menghormati orang tua, tidak boleh kurang ajar, walaupun dalam beberapa hal tidak perlu menyetujui apa yang mereka inginkan.
|
3.
|
Apakah kita wajib untuk mengakui segala hal yang kita lakukan bersama dengan pasangan kita sebelumnya kepada pasangan kita yang baru, apakah tidak menyakitinya? Jika itu hal yang sudah terjadi di masa lampau dan tidak ada hubungan dengan masa kini, apalagi jika hal itu tidak mendatangkan dampak positif, tetapi justru dapat menimbulkan dampak negatif, tidak perlu kita membuka atau mengakui segala sesuatu. Kita bukan orang bodoh yang melakukan hal-hal yang tidak membangun dan tidak berdampak baik. Kalau hanya demi membuka diri, memaparkan dosa, itu adalah sesuatu yang tidak bertanggung jawab.
|
4.
|
Bagaimana cara berkeluarga secara harmonis jika mertua hidup serumah dengan kita yg mana mertua saya diktator karena suami tidak suka ribut sehingga ada kesalahan dengan sikap, tingkah laku, tutur kata orang tuanya yang tidak dia tegur, apakah itu sehat? (mertua bercerai dan punya suami lagi sebelum saya menikah) Ketika kita tidak mau taat pada firman Tuhan, maka banyak kesulitan dan penderitaan yang akan kita alami, apalagi di dalam kasus kehidupan keluarga. Firman Tuhan dari sejak awal telah mengajar kita untuk “laki-laki itu meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej.2:25). Kasus yang anda hadapi sulit untuk menjadi harmonis dan baik, dan anda akan selalu dalam penderitaan jika suami anda tidak mau taat pada firman Tuhan. Dan itu terjadi karena kesalahan anda juga yang telah memilih suami yang tidak takut dan taat pada firman Tuhan ini. Seharusnya hal seperti ini sudah dibicarakan di awal pacaran dimana pasangan harus mau setia dan taat pada firman, sehingga mempunyai dasar pijak yang paling baik. Dalam kondisi seperti ini, maka anda harus belajar taat pada suami, dan menerima semua konsekwensi akibat kesalahan yang telah anda lakukan, sambil terus mendoakan agar suami bisa suatu hari bertobat dan setia kepada kebenaran Firman Tuhan. Jika keluarga mau taat pada firman Tuhan, pastilah keluarga ini akan diberkati dan hidup harmonis. Tekanan seperti ini tidak dialami oleh suami karena situasi itu sudah merupakan budaya keluarga suami (dari sejak lahir), sehingga ia tidak merasa ada sesuatu yang salah. Kalau anda menganggap itu salah, itu karena anda “dari luar” dan bukan di dalam keluarga itu sejak lahir. Maka, apa yang Alkitab nyatakan di dalam Kej 2:25 merupakan hal yang terbaik. |
5. |
Istri tunduk kepada suami secara mutlak, bagaimana kalau suami sesat dan bertindak secara tidak sopan dan tidak sayang kepada istri? Mengapa anda mau menikah dengan suami seperti itu? Kalau suami sesat, tidak sopan, tidak sayang pada isteri, ya seharusnya tidak dinikahi. Tapi kalau anda sudah bertekad, di depan altar mengatakan “ya, saya bersedia,” maka harus bersedia untuk menerima konsekwensinya. Seringkali wanita menikah dengan pria yang ganteng, kaya, pandai merayu dll., tetapi bukan karena dia takut akan Tuhan, mau setia pada Firman Tuhan, dan menjalankan kehendak Tuhan. Maka kalau sudah demikian, format ini bukan format Kristen, sehingga kita sulit mau mengharapkan keindahan pernikahan seperti yang Tuhan rencanakan seturut hikmat-Nya, bisa terlaksana. Allah merancang pernikahan begitu indah dan untuk kebaikan manusia, tetapi manusia mau pakai caranya sendiri, merubah semua setting yang Tuhan sudah atur. Akibatnya, bukan kebaikan yang didapat, tetapi kerusakan. Ketika isteri tidak mau tunduk dan taat mutlak pada suami, apakah itu berarti relasi suami isteri akan menjadi baik? Apakah suami suka isterinya membantah dan tidak mau tunduk? Seringkali keadaan seperti ini akan mengakibatkan suatu saat terjadinya penganiayaan suami terhadap isteri, atau kalau dia mengambil jalan pasif, dia akan mencari wanita lain untuk berselingkuh. Itu merupakan dampak wajar yang sering terjadi. Jangan anda berpikir bahwa ketika anda bisa melawan, maka anda menang. Di lain pihak, tunduk mutlak bukan berarti wanita pasif total. Wanita ditempatkan sebagai penolong yang sepadan. Tugas seorang isteri untuk memberikan masukan-masukan pada suami agar suami bisa melihat hal-hal yang dia pertimbangkan dan ditajamkan untuk bisa mengambil keputusan dengan tepat dan tidak sesat. Isteri juga harus aktif bagaimana bersikap sehingga suami bisa semakin menyayangi anda. Seringkali suami tidak sayang isteri lagi karena sikap isteri yang betul-betul menyebalkan. Salah satu bentuk sikap yang menyebalkan bagi suami adalah sikap isteri yang melawan dan selalu mau menjadi saingan suami. Maka, isteri harus tahu menempatkan diri sehingga suami bisa semakin mengasihi isteri, yang dahulu ia nikahi.
|
6. |
Apakah kerusakan-kerusakan keluarga adalah pengaruh paganisme semata? Secara esensial, ya. Paganisme, berarti berpikir dan mendasarkan seluruh iman pada “yang bukan Tuhan sejati.” Paganisme dengan segala bentuknya adalah perlawanan terhadap Allah dan kebenaran-Nya. Maka melawan Allah dan kebenaran-Nya, akan membawa kerusakan pada manusia itu sendiri, bukan kerusakan pada diri Allah. Dampak terbesar kerusakan ini adalah pada relasi. Inilah yang dinyatakan di dalam Alkitab sebagai dosa. Dosa adalah kerusakan relasi, yang dimulai dengan memberontak pada Allah. Memberontak kepada Allah, berakibat relasi dengan diri sendiri rusak, relasi dengan sesama rusak, dan relasi dengan alam rusak. Ini secara gamblang dan jelas dinyatakan di dalam kitab Kejadian pasal 3. Maka keluarga, sebagai bentuk relasi yang paling intensional dan erat, akan menjadi korban pertama dari pemberontakan ini. Melawan firman berarti merusak hidup dan merusak keluarga. Dari sini kita baru bisa melihat ekses-eksesnya, misalnya bangunan iman Humanisme-Materialisme, yaitu cinta diri dan cinta uang, mengakibatkan manusia bersifat egois dan manipulatif. Orang-orang egois ini akan merusak relasi di segala bentuknya. Uang seringkali menjadi alasan utama hancurnya keluarga. Semua ekses lain kita bisa lihat sebagai dampak dari semangat paganistik ini.
|
7. |
Bila manusia memilih pasangan sendiri, apakah berarti orang Kristen tidak boleh percaya jodoh? Ya. Jodoh adalah dia yang kita pilih dengan bertanggung jawab, yang seiman dan sepadan, dengan pimpinan dan bijaksana dari Tuhan Allah. Allah tidak pernah menentukan dari kekekalan jodoh seseorang, sehingga orang itu menikah dengan orang yang telah Tuhan tentukan tersebut. Kalau Tuhan sudah menentukan dari kekekalan, pastilah penetapan Tuhan itu tidak bisa gagal. Dan fakta yang ada, banyak orang Kristen menikah salah. Berarti manusia itu memilih sendiri, karena Tuhan tidak mungkin memilih jodoh yang salah. Kalau Tuhan sudah menentukan jodoh, lalu kita bisa melawan dan menolak jodoh, berarti itu bukan ditentukan, karena apa yang ditentukan dalam kekekalan tidak bisa gagal.
|
bersambung... | |