“Indahnya Pernikahan Kristen” The Beauty of Christian Marriage Pdt. Sutjipto Subeno Surabaya, 30 Juli 2008
|
|
1.
|
Bagaimana jika suatu pasangan bukan Kristen bercerai, lalu salah satu di antara mereka bertobat dan menjadi Kristen, lalu menemukan seseorang Kristen yang dipandang cocok dan ingin menikah lagi secara agama Kristen? Bolehkah pernikahan itu terjadi? Bagaimana status pernikahan sebelumnya dan anak yang dihasilkannya? Secara prinsip umum, pernikahan adalah kelembagaan sakral, tanpa memandang pasangan tersebut sudah Kristen atau belum. Secara pandangan umum, semua orang menyadari bahwa perceraian adalah sesuatu yang salah (baca: dosa) dan tidak dibenarkan dalam kategori apapun. Namun, memang di dalam prakteknya, banyak agama (apalagi Ateistik) yang memperkenankan terjadinya perceraian karena berbagi alasan dan kemudian memperkenankan untuk menikah kembali dengan orang lain. Dengan demikian, banyak orang yang bukan Kristen, kabur dan tidak terlalu jelas mengerti tentang prinsip dan keindahan pernikahan itu sendiri. Pertimbangan lainnya adalah orang bukan Kristen belum pernah mengerti konsep pernikahan seperti yang Allah maksudkan, yaitu merepresentasikan hubungan Kristus dan jemaat. Dengan demikian, kebenaran firman Tuhan masih belum dia dapatkan. Dalam hal ini, kita bisa mempertimbangkan adanya kemungkinan pernikahan yang sah, secara Kristen, jika orang tersebut betul-betul bertobat. Namun, untuk ini, biasanya seorang hamba Tuhan seharusnya memperhatikan banyak faktor, seperti alasan perceraian, kondisi pernikahan sebelumnya, pribadi yang mau menikah, pertobatannya, alasan pernikahannya, dan kemungkinan apakah pernikahan ini akan bisa berjalan baik atau tidak. Pertimbangan-pertimbangan secara spesifik setiap kasus ini, perlu dipikirkan secara masak-masak, karena biasanya suatu pasangan yang sudah bercerai, seringkali akan mengalami perceraian kedua, karena sebenarnya dia bukan betul-betul bertobat dan berubah seluruh karakter hidupnya. Seringkali ia tetap masih membawa karakter lamanya, hanya saja sekarang ia menjadi Kristen. Dengan demikian, sebenarnya permasalahan pertama belum terselesaikan, dan sekalipun sekarang memakai jubah Kristen, secara internal ia belum mengalami perubahan hidup dan kerohanian yang sesuai dengan iman Kristennya.
|
2. |
Bolehkah seorang wanita lebih berinisiatif memilih pria yang dirasa cocok baginya, karena selama ini, pria-pria yang mendekati semua tidak seiman dan tidak sepadan? Kalau wanita berinisiatif, ia akan kalah posisi. Yang tepat, wanita boleh membuka diri, dan menyatakan diri sebagai seseorang yang layak untuk dikasihi, yaitu dengan mengembangkan sifat keibuan, yang mau taat pada pria (tidak mau menang sendiri), siap melayani dan memperhatikan hal-hal yang dibutuhkan oleh pria. Jika wanita berinisiatif menyatakan dia mencintai seorang pria, nanti ia akan dipermainkan oleh pria itu (entah pria itu sadar atau tidak), dan selama-lamanya ia akan sengsara, karena si pria merasa dia begitu mudah mendapatkan. Dan nanti, kalau pria itu minta yang macam-macam, maka wanita itu akan sulit menolak, karena ia yang sudah berinisiatif dulu. Ini yang dunia sekarang sedang kerjakan dengan alasan emansipasi, sehingga banyak wanita akhirnya menjadi budak pria dan mengalami banyak sekali pelecehan, baik secara mental maupun moral. Wanita bukan diajar untuk berinisiatif, tetapi untuk menjadi padanan. Pria yang harus berinisiatif. Wanita yang berinisiatif, cenderung akhirnya mendapatkan pria yang pasif dan bergantung. Hal-hal ini mengakibatkan terjadinya pasangan yang terbalik. Wanita menjadi dominan dan pria menjadi subordinat. Pasangan seperti ini tidak mungkin mencapai keindahan pernikahan seperti yang Tuhan rencanakan. Baiklah kita taat pada apa yang sudah Tuhan nyatakan sebagai peran dan posisi kita, baik sebagai wanita atau sebagai pria.
|
3.
|
Saya seorang wanita yang sedang menggumulkan pasangan hidup. Di dalam seminar dikatakan agar kita menikah karena panggilan Allah. Setelah kita menyadari bahwa kita tidak baik atau tidak bisa hidup seorang diri saja, bagaimana pasangan yang baik harus kita pilih sesuai dengan kehendak Allah? Pasangan yang paling baik dan paling cocok haruslah memenuhi dua syarat: 1) seiman dan 2) sepadan. Seiman, berarti ia betul-betul sudah lahir baru, sudah sungguh-sungguh hidup mengutamakan Tuhan, setia kepada kebenaran Firman Tuhan (apalagi ia akan menjadi kepala keluarga kelak dan anda harus taat penuh kepadanya), dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan dan sesama. Setelah itu, ia harus betul-betul menjadi padanan bagi anda. Kelebihannya bisa mengisi kekurangan anda dan kelebihan anda bisa mengisi kekurangannya. Dengan demikian, keberadaan kalian akan saling mengisi dan saling melengkapi menjadi satu kesatuan. Kalau anda menemukan pria seperti itu dengan tepat, itulah pasangan yang paling sesuai dengan kehendak dan kebenaran Allah. Untuk ini tentu tidak mudah, dan kita cenderung suka tertarik pada hal-hal yang sekunder ketimbang primer. Ada kata “cinta itu buta.” Untuk itu kita perlu banyak berdoa dan minta pimpinan Tuhan agar Ia boleh memimpin kita dan membukakan mata kita untuk melihat orang yang tepat seperti yang Tuhan inginkan dalam firman-Nya.
|
4. |
Di dalam Kejadian 2, Adam memilih pasangan dari binatang-binatang bukan memilih pasangan dari sesama manusia. Lalu karena tidak ada manusia lain yang sepadan, baru disediakan Hawa. Bukankah itu berarti Hawa disediakan untuk Adam? Pertama-tama, pertanyaan anda perlu dikoreksi. Bukan “karena tidak ada manusia lain yang sepadan” tetapi “karena tidak ada yang sepadan” maka Tuhan mencipta Hawa. Penciptaan binatang dan memberikan kepada Adam untuk memilih memiliki dua fungsi, yaitu: 1) menyatakan ketidakcocokan antara manusia dengan binatang manapun, sehingga tidak memberikan opsi bagi manusia untuk menikah dengan binatang dengan alasan sepadan; dan 2) memberikan pilihan kepada manusia sehingga manusia menjadi manusia dengan hak pilihnya, yang Tuhan tidak ambil alih ataupun tiadakan. Maka, setelah Adam menyatakan tidak ada yang sepadan, baru Allah bertindak mencipta Hawa. Disini kita jelas melihat bahwa Allah yang menyediakan lembaga pernikahan, tetapi sekaligus bukan Allah yang memaksa dan menetapkan di dalam kekekalan untuk Adam menikah dengan Hawa sebagai suatu pemaksaan atau sikap diktatoriat Allah. Jika kita mau mengandai-andai, maka sekiranya Adam tetap menganggap Hawa bukan yang sepadan bagi dia (ini sebenarnya tidak mungkin, karena Adam di dalam hikmatnya sudah bisa melihat dan menemukan itu), maka Allah tidak keberatan untuk menciptakan makhluk atau manusia atau wanita lain lagi untuk bisa menjadi penolong yang sepadan bagi Adam.
|
5. |
Mengapa suami tidak boleh menuntut isterinya untuk tunduk (dan juga sebaliknya)? (menurut Efesus 5:22-33, red.). Karena tunduk itu adalah suatu sikap, bukan dipaksa. Kalau orang dipaksa tunduk, hasilnya adalah pemberontakan. Ketika ia tunduk, ia tunduk karena terpaksa, tetapi bukan karena hormat. Orang yang tunduk di bawah ancaman pisau, dia akan marah luar biasa di dalam hatinya dan memiliki sifat berontak yang kuat sekali. Itu justru bukanlah penundukan. Suami menundukkan isterinya dengan bagaimana dia menjadi seorang kepala yang baik. Jika ia betul-betul mencintai isterinya dengan sepenuh hatinya, seperti Kristus mencintai jemaat, mustahil isterinya (jika ia seorang Kristen yang baik) tidak akan tunduk kepadanya. Kalau seorang suami sewenang-wenang, tidak menjalankan peran dan panggilannya sebagai kepala, lalu menuntut isterinya untuk tunduk, maka itu sifat yang sangat tidak bertanggung jawab. Kalau suami menuntut isteri taat firman Tuhan, sehingga harus tunduk kepadanya, maka ia terlebih dahulu harus taat pada firman Tuhan, mengasihi isterinya dengan sepenuh hatinya, baru isterinya dengan sendirinya akan tunduk. Pada hakekatnya, tidak ada alasan apapun yang membenarkan seorang suami menuntut isterinya tunduk kepadanya. Demikian juga sebaliknya.
|
bersambung... | |